I. Pengertian Ilmu Fiqih
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh”
(memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan
kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati
(menjaga batas perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi :
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu
fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan
segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram
yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
II. Perkembangan Ilmu Fiqih
A. Masa Nabi
Nabi
Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa
dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan,
ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan
diikuti oleh umatnya.
Dalam
masa Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang
turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang
terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam
urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang
semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang
juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang
Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada
peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk
mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah
oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin
mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu
diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa
penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk
memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka
mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati
larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma
tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk
sari pohon kurma, seraya bersabda
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”.
Pada
waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk.
Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam
periuk itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian
berkata : “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang
sahabat berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan
kami mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.
Jadi
dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama,
keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan
kemaslahatan.
Para
sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka
tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi
memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad
para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan
pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan
menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya
adalah sebagai berikut :
- Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.” (QS An-Nisa : 29)
Mendengar
jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa.
Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
- Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.
Maka
tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan
bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah
mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah
dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan
darurat.
- Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi
pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui
hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang
masih ada ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah
Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status
hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan
menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah
tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar
memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada
hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan
berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah,
maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini
menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh
seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Pada
masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat
pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula
mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin,
yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur
Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
“Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
“Maka
bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat
perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku
dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).
Disamping
empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang
dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul
sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat
Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah
pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa
hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
“Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”
Para
Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi.
Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun
nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud),
terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling
besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk
dijadikan rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
- Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
- Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
- Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
- Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
- Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Aisyah, Ummul Mukminin
- Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
- Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab :
“Apakah
hal itu telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita
tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah
terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.
4. Toleran
Ath-Thabari
meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang
laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa
yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian,
oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi
demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan
urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu
kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku
mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak
(lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar
menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali
dan Zaid”.
5. Menjauhi
pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah
mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
C. Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah
- Said bin Al Musayyab
- Urwah bin Zubair
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit
- Abu Bakar bin Abdurrahman
- Sulaiman bin Yasar
- Ubaidillah bin Abdullah
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
- Atha’ bin Abi Rabah
- Thawus bin Kisan
- Mujahid bin Jabar
- Ubaid bin Umar
- Amru bin Dinar
- Ikrimah maula Ibnu Abbas
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
- Amru bin Salamah
- Abu Maryam al-Hanafy
- Ka’ab bin Sud
- Hasan Al Basri
- Muhammad bin Sirin
- Muslim bin Yasar
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
- Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
- Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
- Syuraih al Qadhy
- Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
- Rabi’ bin Khutsam.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
- Yazid bin Abi Habib
- Bakir bin Abdillah
- Amru bin Al-Harits
Mufti dan Fuqaha di Yaman :
- Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
- Abdul Raziq bin Hamman
- Hisyam bin Yusuf
- Muhammad bin Tsur
- Samak bin Al-Fadhl
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
- Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
- Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
- Yahya bin Yahya
- Abdul Malik bin Habib
- Baqi bin Makhlad
- Qasim bin Muhammad
- Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)
Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
- Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
- ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
- Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
- ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
- Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
D. Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Mufti dan Fuqaha di Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan memberi fatwa.
Abu
Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi
ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat
bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui
ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah,
kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam
Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As
Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin
Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin
Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari
qiraat dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz
(hafal Al-Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali.
Imam
Syafi’i berkata : “Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah,
Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.”
Imam
Malik berkata : “Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti
dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia
akan dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.”
Mengenai
metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : “Saya mengambil
Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya
jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari
riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan.
Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya akan
mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain.
Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah
sampai kepada Ibrahim, Sya’bi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya,
maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail
bin Iyadh mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang
shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu
juga dari sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas
dengan cara yang sangat baik”.
Al-Dabussi
dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka pada
kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan
murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya.
Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke
akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq),
memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam
bentuk illat-illat dan hukum-hukum.”
Imam
Abu Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits,
sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang
mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu
digunakan, akhrinya dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits
yang tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.
Imam
Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah
mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan
bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq)
menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak
oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas
kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani
Umayyah.
Ujian
kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti
Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat
menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa
dalam penjara.
Beliau
juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha
memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah
meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan
dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.
Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah :
- Al-Qur’an
- Hadits dari riwayat kepercayaan.
- Ijma’
- Fatwa Shabat
- Qiyas
- Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
- Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam
Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi
ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan
oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih
mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas)
lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan
hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Al-Jami’us Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Al-Jami’ul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadha’ Hammad bin Ahmad.
8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqi’at :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama
lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al
Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah
hafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry,
Nafi’ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah
bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah,
Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu
Nu’man.
Ibnu
Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian
rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap
rumahnya, kemudian di jual kepasar”.
Imam
malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik
tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak
mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu
Abdu Al-Hakam mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama
dengan gurunya Yahya bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya baru
berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu
Dawud mengatakan : “Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan
oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari
Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits
dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal
Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau
Hasan Al Basri.”
Sufyan mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”.
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.
Imam
Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram.
Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam
Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata :
‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para
kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk
ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang
tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya
menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak
karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya,
“Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku
datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik
berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak
menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah
menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.
Imam
Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits
dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah
mengatakan : “Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits”.
Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’, merupakan kitab hadits
tertua yang sampai kepada kita.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi
fatwa bahwa “akad orang yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini tidak
disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat
kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu dianggap
membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur
Madinah, Ja’far bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut
fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai
80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda
keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad
dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga istana, maka Imam Malik
berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya”. Akhirnya Khalifah
Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Ma’mun dan Al Amin datang ke
Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta’.
Khalifah
Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada
kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”.
Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak
mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar
ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa.
Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat,
yaitu : Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
- Al-Qur’an
- Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
- Ijma’
- Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
- Qiyas
- Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
- Perkataan Sahabat.
Bila
dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik
mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih
sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al Muwatta’.
2. Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)
Seorang
pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu
Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza,
Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada
tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam
Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan
dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau
dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah
dapat menghafal Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail
untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus
bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid
Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam
Syafi’i kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti
Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab Al-Muwatta’
karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qur’an imam Syafi’i yang
sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia
15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil
Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat
pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i
bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi
setelah mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal
kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan
akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafi’i kemudian
menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam
Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’
kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i
tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin
pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu
murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan
uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai
di Irak, imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu
Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab
mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf.
Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan
pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota
yang dikunjungi Imam Syafi’i mengunjungi ulama-ulama setempat,
melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari
adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2
tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam
Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu
Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama empat tahun lebih
tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai
meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal
Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi
orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun
itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam
Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya
yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi’i. Wali Negeri Yaman mengajak
Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis
istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi (cucu
Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.
Di
Yaman Imam Syafi’i juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya
bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada
saat itu sedang marak dipelajari.
Pada
waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin
yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan
laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan
termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah
diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau
dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin
dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat
beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.
Pada
sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur
Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke
Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam
Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid
(pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti,
memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafi’i :
1. Al-Qur’an
2. Hadis
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam
Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan
yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah.
Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari
Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan
cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya
saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam
Syafi’i Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu
Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang
dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafi’i :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jami’ul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu
‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan
terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
8. Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad
pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan
kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu
merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para
ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama
di kota kelahirannya tersebut.
Ketika
berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut
ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai
gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam
berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu
Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Imam
Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu
hadits, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam
Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”.
Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku
telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau
mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar
kepala”.
Ketika
pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah
berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan
mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum
Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan
pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para
Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana.
Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat.
Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya
beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah
menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal
secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam
Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal
Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan
Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan
progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin
Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah
Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa
Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan
sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama
Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan
Al-Qur’an.
Khalifah
Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh
ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Qur’an
2. Hadits
3. Ijma’ Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabi’in
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode
istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits
dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai
berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada
menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
- Tafsir Al-Qur’an.
- Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
- Kitab Nasikh wal Mansukh.
- AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
- Jawabatul Qur’an.
- Kitab At Tarikh.
- Al Manasikul Kabir.
- Al Manasikus Saghir.
- Tha’atur Rasul.
10. Al-‘Illah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad
adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath)
hukum syara’ dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para
ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab
dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar
sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan ra’yu (qiyas)
dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya
Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial
yang lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis.
Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.
4. Mengikuti
guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits
dan atsar dan sangat hati-hati dalam menggunakan ra’yu (qiyas).
B. Aliran Ra’yu
Setelah
terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang
menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa
tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus
berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu
Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok
Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan
saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu
yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah
Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits
palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah
sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq)
yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan
ra’yu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal
itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
- Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
- Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
- Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
- Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syari’ah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syari’atannya.
- Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada
suatu hari Rabi’ah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli
hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabi’ah :”Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?”
Said Al Musayyab: “10 ekor onta”.
Rabi’ah : Jika dua anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : “Jika tiga anak jari ?”
Said Al Musayyab :”30 ekor onta”.
Rabi’ah : “Jika empat anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : ”Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?”
Said Al Musayyab : “Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan”.
Demikianlah
ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli
ra’yu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui
illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana
diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu
anak jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auza’i bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auza’i : “Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal ?”
Abu Hanifah : “Karena tidak ada hadits yang shahih dari Rasul”.
Al
Auza’i : “Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari
ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada
mengangkat tangan saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.
Abu
Hanifah : “Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari
Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak
mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat saja”.
Al Auza’i : “Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang Hammad”.
Abu
Hanifah : “Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri.
Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya
daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.
Mendengar jawaban itu, Al Auza’i pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli ra’yu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori
oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna
zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits tanpa mau
memegangi makna lainnya.
Kalau
digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan
metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih
seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i - Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi
yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa
ulasan tentang Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber
perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan
pendapat didalam Fiqih :
1. Perbedaan memahami Al-Qur’an
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2. Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syari’ah
3. Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang pada dalalatul Qur’an
i. Menolak mafhum mukhalafah
ii. Lafz umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
iii. Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
i. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i. zhahir Nash
ii. menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah
al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau
membolehkan intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk
mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafi’i
a. Qur’an
dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara
sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw).
Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus
Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh
jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
b. Ijma’
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur’an)
menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma’
d. Hadis dhaif
e. Qiyas
IV. Pembagian Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1. Bagian Ibadah.
1.1. Kitab Taharah
1.1.1. Taharah dari hadas
1.1.2. Taharah dari najis
1.2. Kitab Kitab Shalat
1.3. Kitab Janazah
1.4. Kitab Zakat
1.5. Kitab Zakat Fitrah
1.6. Kitab Shiyam (puasa)
1.7. Kitab I’tikaf
1.8. Kitab Haji
1.9. Kitab Jihad
1.10. Kitab Aiman (sumpah)
1.11. Kitab Nadar
1.12. Kitab Qurban
1.13. Kitab Sembelihan
1.14. Kitab Berburu
1.15. Kitab Aqiqah
1.16. Kitab makanan dan minuman yang haram
2. Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ila’ (sumpah talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Li’an (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radla’i (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad (berkabung)
3. Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyu’ (jual beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)
3.5. Bai’il Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Bai’il Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)
3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Ju’li (upah bagi yang menemukan barang yang hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)
3.12. Kitab Syuf’ah
3.13. Kitab Qismah (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang pailit)
3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)
3.22. Kitab Wadi’ah (menitipkan barang)
3.23. Kitab ‘Ariyah (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl (warisan)
3.29. Kitab ‘Itqi (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu anaknya)
4. Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)
4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)
5. Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V. Mujtahid, Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1. Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari Rasul untuk diikuti oleh umat.
2. Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3. Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah
pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al
Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafi’i.
4. Mujtahid
fil Masa’il : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah
cabang, bukan pada masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi,
Al Ghazali dalam mazhab Syafi’I, Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.
5. Mujtahid
Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap
masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid
ini mengetahui seluk-beluk dan argumen para imam mazhab, mampu men
tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama dari pendapat imam mazhab
yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab Hanafi,
Ar Rafi’ dan An Nawawi dalam mazhab Syafi’i.
B. Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Mengetahui
bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika),
sharaf (konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan
badi’ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat),
tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan),
serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui
arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : “Tidak
diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui
berbagai dialek bahasa Arab”.
4. Memahami ilmu Al-Qur’an dan ilmu tafsir.
5. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabi’in.
6. Mengetahui Ijma’ masa Khulafaur Rasyidin.
7. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
8. Pemahaman
dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, illat hukum,
serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan
dengan syariat.
C. Mufti dan Hakim
Mufti
adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih sesuatu
masalah, sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis keputusan
hukum terhadap suatu sengketa masalah antara dua pihak yang bersengketa.
Keduanya sama sama memutuskan hukum berdasarkan hukum syara’.
Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :
1. Memberi
fatwa lebih luas lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum.
Fatwa boleh dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili,
kerabat, orang asing. Sedangkan vonis putusan hanya diberikan oleh orang
merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang bersengketa.
2. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima boleh tidak.
3. Fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.
4. Mufti
tidak dapat memberi putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim
sedangkan hakim harus memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu
keharusan.
5. Hakim
sebaiknya tidak memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin
muncul dalam peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan
putusan yang berbeda dengan fatwanya, tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al Qadhy pernah berkata :
“Saya memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwa”.
VI. Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’
adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui
argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat
(ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :
“Ittiba’ dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.
Hukum Taqlid :
a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.
b. Taqlid yang haram :
1. Tidak menghiraukan nash syara’ semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.
2. Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3. Taqlid
buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan
argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang
tersebut.
c. Taqlid
yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar
mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang
awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum syara’ secara
mendalam.
Periode Taqlid :
1. Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2. Periode kedua dari abad ke-IV H – abad ke-X H.
3. Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4. Periode keempat dari masa Muhammad Abduh – sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1. Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2. Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3. Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).
4. Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5. Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6. An Nawawi
7. Al Bulqini (724 – 805 H).
8. Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9. Al Asnawi (714-784 H)
10. Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11. Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H).
12. Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13. Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14. Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15. Rasyid Ridha.
VII. Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib
Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib
Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya,
contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan
oleh syara’.
2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3. Wajib Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4. Wajib
Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya
dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5. Wajib
Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu
mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya
ibadah haji.
6. Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7. Wjib
Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian
individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain,
contoh : mengurus jenazah.
8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9. Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10. Wajib Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12. Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13. Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.
14. Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B. Sunnat
Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jama’ah.
2. Sunnat
Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan,
contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan
tidak dicela bila ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4. Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C. Mubah
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan
membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau
tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana
kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1. Makruh
Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila
ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E. Haram
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.
VIII. Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Obyek
hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang
dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi
beberapa syarat :
a. Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b. Sanggup dikerjakan.
c. Dapat dibedakan.
d. Diketahui berdasarkan dalil.
e. Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek
hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang
mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b. Baligh (dewasa).
c. Berakal (sadar dan waras).
Halangan – halangan :
1. Gila
2. Setengah gila
3. Lupa
4. Tidur
5. Pingsan
6. Mabuk
7. Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8. Haid
9. Nifas
10. Mati
11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15. Tua renta pikun.
IX. Ushul Fiqih
A. Pengertian
Ushul
fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk
istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil
yang tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1. Al-Qur’an
2. Sunnah (Hadits)
B. Ijma’ (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1. Qiyas
2. Istihsan
3. Maslahah Mursalah
4. Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah
Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.
Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada
Allah dan RasulNya.”
“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) ulil-amri.
“Kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya
bandingkanlah dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada
Al-Qur’an dan atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat
didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.”
Ayat
diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya
untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu menggunakan segala daya upaya
kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang
tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai
qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan
memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan
memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya
lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku
putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah kembali bertanya :
‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz akhirnya menjawab :
‘ Ajtahidur ra’yi Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran
saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk
dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu
Dawud).
Hadits
Mu’adz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh
Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan
akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan
Hadits.
B. Sumber Hukum Pimer
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya
(sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara
yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih
(jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih
menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali
meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, ‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
2. Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
Hadist
nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya
bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad
(jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih
diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya
bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits
tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).
Demikian
pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada
perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi
bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka
menjadi dzunni dhalalahnya.
C. Istinbath hukum dari dalil Al-Qur’an dan Hadits
1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a. Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
“Dan
jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3).
Dari
segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat
orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih
memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
b. Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).
Hukum
hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang
tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang
lain.
c. Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat
diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi
yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang
menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
“tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”
“Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”
Demikian
juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri
dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum
potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
d. Muhkam,
paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal)
baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah :
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits nabi :
“Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.”
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a. Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Hadits nabi : “Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”
Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka
bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah
pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini
terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh
lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang
yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan.
Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan,
karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi
sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian
juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri
(sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan
milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat
sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam
Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet
dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong
tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad
bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri
yang harus dihukum potong tangan.
b. Al-Musykil
yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri.
Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya
kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata
air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan
dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang
lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari
perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu
penafsirannya.
c. Mujmal
(global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan
yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali
melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut
menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya
tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal
maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh
perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d. Mutasyabih
yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang
tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan”
(QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami
telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar
berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu
lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
3. Ayat-ayat
tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk,
contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha
Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat
tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh :
Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah
“melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat
tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa
kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Yang
perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan
yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam
didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam – Mutasyabih)
2. Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)
B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1.
Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna
yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna
lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan “sepuluh”
dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan
lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2. Zahir,
ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika
ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah
(marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya
kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash,
karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun
lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira
baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil”
(bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi
pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna
inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga
dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti
haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”.
Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat,
jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan
penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh
(lemah).
3. Mu’awwal,
adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu
dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal
berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab
tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan
mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang
memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna
ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya
dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah
istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang
tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya
pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
“Maka
jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”
Ayat
ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia
berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia
berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka
baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] :
23 :
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”
Ayat
ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu
kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas
kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5. Dalalah
Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang
tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah
[2] ; 187 :
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat
ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih
dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai
dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan
demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub.
Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula
melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian
waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi
sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan
junub.
B. Mafhum
Mafhum
adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi
ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang
tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari :
1. Fahwal
khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil
hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”
Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang
tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman
perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti
mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan
dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman
perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti :
membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga
diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari :
1. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “
Ayat
ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa
oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum
mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak
perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan
tsiqoh wajib diterima.
2. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”
Dengan
pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang
ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
“Kemudian
jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “
Dengan
pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali
kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka
menjadi halal dikawin lagi.
4. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
b. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3. Cakupan Lafazh
A. ‘Am (umum) – Khas (khusus)
Lafazh ‘Am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”
Berdasarkan
keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh
menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada
Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu
dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan
nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
“Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya
kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun
dianiaya.”
b. QS An-Nisa’ [4] : 123
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.”
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.”
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
“Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra’ [17] : 110 :
“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”
5. Lafazh
yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat
negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al
Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.”
b. QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”
6. Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
a. QS Al-An’am [6] : 130 :
“Hai
golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami
dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.”
7. Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Ma’idah [5] : 42 :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”
9. Isim-isim
yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi,
al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] :
10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”
10. ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “.
Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :
a. ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Kata “ummhat” ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :
“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. ‘Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”
Anak
tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah
disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu
boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat
“jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila
seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib
berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
a. Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Ayat
tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik
yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat
ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
“Apabila
kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
b. Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Dari
Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang
akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang
demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu
seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta
itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
c. Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“Allah
mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak.
d. Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”
Ayat
tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap
perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum
dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut
dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
e. Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 :
“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
“Sesungguhnya
aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera
kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu
Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”
Dalam
ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu
kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu
adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :
1. Apabila
didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus),
maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak
terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila
lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang
meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib
diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua
satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila
lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka
lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah
dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan
makna yang umum tersebut.
4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) – Mubayyan (terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah
satu fungsi hadits adalah sebagai “bayan” (menjelaskan) lafazh dalam
ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari
hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk
memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka
tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang
Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan
Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam
satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah
mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
“Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Kalalah
adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna
inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
“Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”
2. Mubayyan
Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak
terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah
dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a. Dari ayat Al-Qur’an yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
“…Padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang
mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Kalimat
“Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena
ambigutias huruf wawu, yaitu kata “dan”. Bisa berkonotasi kata
penghubung (‘athaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf).
Jika kata “dan” dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat
tersebut adalah “hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang
mengetahui takwilnya”. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan
kalimat baru, maka konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui
takwilnya” sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene
tidak tahu takwilnya- berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih”. Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka
Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah
pada QS An-Nahl [16] : 89 :
“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Ayat
ini menunjukkan Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu
kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan
petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf “dan” pada QS
Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya
adalah “yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang
berpendapat demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “
Kata
“kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang
dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
“Saya
mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada
diatas mimbar- ‘Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.
Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.’ ”
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Ayat
tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat
sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang)
bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak
mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
Contohnya
Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara
berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh,
Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
Perintah mendirikan
sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk
menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat
hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan
tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara
menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para
Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya
seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang
dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau
mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga
kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya
seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam
waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau
meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu
ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar
suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak
mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah
tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu
pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
Apabila
datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu
dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi
menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci
terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu
lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah
(petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu
terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna
yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
“Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.”
Kata “semuanya” itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu
lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan
dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung
kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang
lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global
(mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan
perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang
sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
C. Mutlaq (tanpa batasan) – Muayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
“Dan
orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan
seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain)
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak
yang beriman”
Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1. Lafazh
yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang
meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi
batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan
menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.”
Wasiat
yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi
jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan
oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari
sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas
menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang
dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-An’am [6] : 145 :
“Katakanlah,
‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang)
suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging
babi.”
Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”
Karena
ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada
QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad,
yaitu “darah yang mengalir.”
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 :
“….Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
lafazh “(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua
nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi
hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
“Apabila
mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka
rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lafazh “saksi” pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
“Apabila
kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu
menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki
(diantara kamu).”
Lafazh “saksi” pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.
Kedua
ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang
saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS
At-Thalaq [65] : 2 ialah “rujuk pada istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.
c. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
Bila
dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka
sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga
berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
Jadi Hukum lafazh mutlaq - muayyad :
-
- Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
- Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
- Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
4. Kaidah Makna Kata
a. Makna
Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada
lehernyta” maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani.
c. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya
makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya
perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan
pendapat.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VIII)
5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum :
a. Menunjukkan wajib.
b. Menunjukkan sunah.
c. Menunjukkan suruhan saja.
d. Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat.
b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya.
c. Larangan
lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang
melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.
d. Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jum’at dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VII)
6. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil
a. Ta’arudl
Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :
“Apabila
bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk
menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat
dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang
lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya,
tetapi diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian, maka
hendaklah yang terkemudian dipandang menasakh yang terdahulu. Jika tak
dapat diketahui kedua-duanya maka ditangguhkan.”
b. Kompromi
Firman Allah pada QS Al-Baqarah : 180
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya yang dekat”
Firman Allah pada QS An-Nisa’ : 11
“Allah memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti bagian dua wanita ….. “
Ayat
pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan
ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang meninggal.
Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan
padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu
apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai
sepertiga dari hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat
warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan
harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat
Islam.
c. Tarjih
Yaitu
bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil
yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh).
Prinsip-prinsipnya :
1. Al-Qur’an lebih kuat dari Hadits
2. Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur
3. Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad
4. Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5. Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau muslim saja.
6. Hadits Marfu’ (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada Sahabat)
7. Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.
8. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan (untuk kehati-hatian).
9. Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang menghalangi.
10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d. Nasakh
Apabila
tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang
datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang
terkemudian menasakh yang terkemudian.
1. Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :
“Aku dahulu melarangmu dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan kamu kepada akhirat.”
2. Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir point V)
D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap
yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat
singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis yang
bersesuaian dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya
dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu’ (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :
“Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu’ (hukum fikih)”
Kaidah Fikih Global :
“Mengambil maslahat dan menolak masfadat”
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu’ yang banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : “segala sesuatu bergantung kepada niat”
Dasarnya hadis nabi “Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannya”
Kaidah Pokok ke-2 : “yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”
Dasarnya hadis nabi “Apabila
seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian sangsi
apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah
keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat bau”
“Apabila
seseorang dari kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah
berapa rokaat yang telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat
rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang
meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam kesempitan ada kelapangan”
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
QS Al-Haj :78 : “Dan
Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agama” Hadis nabi
“Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah”
Hadits nabi : “Mudahkanlah jangan dipersukar.”
Kaidah Pokok ke-4 : “Kemudhorotan harus dihilangkan”
Dasarnya Firman Allah “Dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumi”
dan ayat “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan”
kemudian hadis nabi “tidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat kemudhorotan pada orang lain”
Kaidah Pokok ke-5 : “Adat dapat dijadikan hukum”
Dasarnya ayat “Dan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut” dan hadis nabi “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah”
Dari
lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang
lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram juga haram.
6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
11.
Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini
hukum masalah furu’ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah
muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau yang qoth’i)
12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).
14. Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. Sumber Hukum Sekunder
3. Ijma
Ijma
adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya
Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat praktis
‘amaly.
Dalil yang menjadi dasar Ijma’ :
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.”
“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.”
“Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”
“Ingatlah,
barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah)
jamaah, karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia
akan lebih juah dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang
yang menyendiri.”
a. Ijma’ Sahabat
Khalifah
Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status
hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan
menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah
tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar
memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada
hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan
berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah
Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua
khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya
masih berada di Kota Mekkah. Ijma’ sahabat pada masa khalifah Abu Bakar
dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti
oleh seluruh kaum muslimin.
b. Ijma’ Ulama Mujtahid
Para
sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat
Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota
yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang
didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama
dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Masing-masing
imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi
pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam
Abu Hanifah menghargai Ijma’ ulama Kufah, begitu pula Imam Malik
menghargai ijma’ ulama Madinah.
Tingkatan Ijma’ :
a. Ijma’ Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b. Ijma’
Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian
pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan
tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada
juga yang mendiamkannya. Ijma’ sukuti ini masih diperdebatkan apakah
dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu
menyatakan kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.
4. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
“Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : “Bila
ada konsensus pendapat dari sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan
pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat dari
tabi’in maka saya teliti.”
5. Qiyas
Qiyas
adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa
dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah
Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.
Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada
Allah dan RasulNya.”
“Kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya
bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang
telah ada pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan atau Sunnah Rasul-Nya
(Hadits).
b. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
“Dan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.
c. Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
“Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu).”
Dari
ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum
khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena
menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits – Hadits Nabi :
1. Dari
Umar bin Khatab : “Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni
mencium istriku, sedang aku sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah bersabda :
‘Bagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal
kamu sedang berpuasa ?’. ‘Hal itutak mengapa’, jawabku. ‘Maka mengapa
(kamu menanyakan) ?’ Jawab Rasulullah”. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat
diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika
berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung
persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap
membatalkan.
2. “Seorang
wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : “Ya
Rasulullah, ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia
tak sempat mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya
berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. ‘Benar’, jawab Nabi. “kerjakan
haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah
kamu yang paling patut melunasinya ? ‘Ya’, jawabnya. Rasulullah berkata :
‘Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk
dipenuhi’ ”. (HR Bukhary dan Nasa’i).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :
“Lihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu”.
Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1. Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qur’an dan hadits.
2. Furu’, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3. Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4. Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada hukum furu’.
Syarat-syarat qiyas :
a. Hukum asal tidak dinasakh.
b. Hukum asal jelas nashnya.
c. Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e. Mempunyai illat yang sama.
f. Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h. Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syara’.
Macam-macam Qiyas :
1. Qiyas Aula / Awlawi / Qath’i
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
“Kedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah tali”.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.
2. Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisa’ : 25 :
“Maka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita yang merdeka”.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3. Qiyas Adna / Adwan
Yaitu
meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan
kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya
kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada
khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4. Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya
mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta
orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.
5. Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan hukum pada asal.
6. Qiyas fi Ma’nal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.
7. Qiyas Syabah
Yaitu
qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang
dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua
asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu dihubungkan
dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya,
seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi,
berubah status antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan
binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat diperjual-belikan
dan diwakafkan.
8. Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furu’ diyakini tidak berbekas.
Misalnya,
mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman
mengucapkan ‘cis’, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9. Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10. Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11. Qiyas Thardi
Qiyas
yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya
hukum beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga
hilang.
12. Qiyas Aksi
Tidak
ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi
yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
“Dan
pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya :
‘Apakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi :
‘Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada yang haram,
adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang halal,
ada pahala baginya”. (HR Muslim).
13. Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a. Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau dengan isyarat atau dengan ijma’.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghuninya”.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : “Ijin dilakukan semata-ata untuk kepentingan (keselamatan) mata”.
b. Qiyas bekas sebab
Misalnya
dibenarkan menjama’ shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa
hujan itu menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi
sebab bolehnya jama’. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.
14. Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya,
wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena
menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash.
Akan tetapi ada keterangan dari syara’ bahwa kesukaran itu meringankan
hukum.
15. Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syara’ membolehkan atau menolaknya.
Misalnya,
wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima
warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada
pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat
warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).
6. Istihsan
yaitu
: keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas
sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak
memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu
keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syara’
dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan
memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu
mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu
yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu
kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia
dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu
pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan
penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan
rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia
tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10. Sadudz Dzariah
Yaitu
mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak
kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh :
Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis
bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu
jalan menuju zina
11. Urf
yaitu
kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak
menyalahi syara’, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga
bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual
ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos
kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
12. Adah
yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
13. Ta’amul
yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
14. Bara’ah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
15. Istiqra’
yaitu
memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan
dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan
diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas
kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
16. At-Taharri
yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
17. Ar Ruju’u ilal manfa’ati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal muqaddarati wal qaulu bi ‘itibaaril mashalih fil mu’aamalati wabaqil ahkami
yaitu
menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan
kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang
sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin
19. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu berubahnya hukum (masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.
Yang
mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar
bin Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjama’ah dibawah satu
imam dengan pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat
kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan Islam
sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang
menaklukkan demi kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak
memotong tangan pencuri pada saat paceklik dan kelaparan dengan
pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
yaitu
berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar
tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila
mereka murtad maka dibunuh
21. Al Ishmah
yaitu
menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum
syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk
menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
22. Syar’u man qablana
yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
23. Al ‘amalu bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
24. Al akhdzu bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
25. Al Qur’ah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
26. Al ‘amalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
27. Ma’qulun nash
yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
28. Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
29. Tahkimul hal
yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
30. ‘Umumul balwa
yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
31. Al ‘amalu bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya
32. Dalalatul iqtiran
yaitu
menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam
malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan
bighal dan keledai”
33. Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi “berhati hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allah”
34. Ru’yan nabi
yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi : “mimpi seorang muslim itu 1/46 kenabian”
35. Al akhdzu bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
36. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
37. Faqdud dalil ba’dal fihshi
yaitu
menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil
yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
X. Maqashid Syari’ah (Tujuan Syara’)
Melalui
penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama
mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua
perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik
yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia
tidak mampu memahaminya.
Tuhan
tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah.
Syara’ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud
umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita
mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash
syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan
ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari
satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat
maka perlu memahami maksud syara’ (maqashid syari’ah).
Segala
hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam
menetapkan hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia dan menolak masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa
manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat
adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
“Dasar
syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat
semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap
masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’,
dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah
syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat
Allah diantara makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya
yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya”.
Maksud-maksud syara’ yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.
2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu
segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat
menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban
hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan
hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan
kesukaran saja.
Segala
yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh
rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan,
kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh
maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik
oleh akal yang sehat dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan Maksud Syara’
1. Tingkat Dharuriyah.
Yaitu
tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak
difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari
Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang
yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah
urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila
tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan
dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah
serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat
tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila
tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik
dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang
kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan
tentu rusak maslahat harta.
2. Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya
untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam
safar atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.
3. Tingkat Tahsiniah.
Yaitu
tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak
menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan
kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk
memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.
XI. Masalah Ushul (pokok) – Furu’ (cabang)
A. Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut I’tikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun iman yang enam.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits yang menerangkan hal ini
semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan
sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qath’i (pasti).
Seorang
muslim dalam masalah ushul ini harus benar I’tikadnya (keyakinannya).
Salah dalam I’tikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi
kafir keluar dari Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.
Contoh-contoh masalah ushul :
a. Tidak ada tuhan selain Allah.
b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
c. Allah satu satunya tempat bergantung.
d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)
f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Qur’an.
h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
l. Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu Kalam point terakhir)
Masalah
ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon,
I’tikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang
yang merupakan penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini.
Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini
maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya
para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bid’ah akidah seperti
kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah,
Musyabbihah, Mu’atillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh hadits Nabi :
“Umatku
akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu
yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa.
Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi
menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya
lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab :
‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj)
saya dan para sahabatku’ “
B. Masalah Furu’ (cabang)
Masalah
Furu’ (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian
praktek tata cara ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya
cakupan masalah furu’ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh
aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furu’iyah ini tidak
semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih
mujmal, masih ‘am (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih
musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi penafsiran dan sebagainya.
maka
dalam masalah furu’iyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng
istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furu’ yang
ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber toleransi yaitu
mengikuti mana yang dianggap paling baik diantara pendapat-pendapat
yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan
(tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.
Contoh-contoh masalah Furu’
a. Detail tata cara sholat
b. Fiqih Zakat
c. Fiqih Puasa
d. Fiqih Haji
e. Fiqih Jual-Beli
f. Fiqih Sewa-Menyewa
g. Fiqih muamalah
h. Urusan duniawiyah
i. Dan lain-lain.
Masalah
furu’ itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang
tentunya tidak harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan
ada banyak ragam cabang. Jadi dalam masalah furu’ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.
XII. Dalil Qath’i (pasti) – Dzani (dugaan)
A. Dalil Qath’i (pasti)
Dalil disebut Qath’i (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1. Qath’i wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir
2. Qath’i dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qath’i diatas maka menjadi dalil
Qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa
reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik,
tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan
masalah Ushul dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah
furu’ dalilnya tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya
qoth’i sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan
pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
d. Hukum potong tangan bagi pencuri.
e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
f. Hukum
potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan
anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)
B. Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qath’i, yaitu :
1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.
Kebanyakan
masalah furu’ yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad,
atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum
sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.
XIII. Tentang Bid’ah
Pembahasan
tentang bid’ah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan
pendapat dan pemahaman tentang masalah bid’ah ini yang sekarang ini
menjadi salah satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi
diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi
sekarang ini ada yang menjadikan kata bid’ah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain.
A. Pengertian Bid’ah Secara Bahasa
Secara
bahasa bid’ah itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah
mengadakan dan memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu
perkara yang baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.
B. Pengertian Bid’ah Secara Istilah.
Secara
istilah, bid’ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak
versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu
memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya
hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang
lainnya menyempitkan batasannya.
Sultonu
Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab
Syafi’i (wafat 660 H) dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan
bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman
Rasulullah SAW.
Dalam
Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan
Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua
kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan
menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski
hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan
untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Kelompok Pertama
Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
a. Tokoh-tokohnya
Di
antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam
Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam
Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari
kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki
seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi
serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat
Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau
berjama’ah berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman
Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat “perkara baru” yaitu
menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam,
pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Setelah itu Umar
berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.
Perbuatan
itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan
sepeninggal Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
Hadits yang mengindikasikan adanya bid’ah yang baik adalah hadits berikut :
“Siapa
yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan
ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang
mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran
dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”.
Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1. Ada riwayat dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :
“Bid’ah
itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah
terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela
adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”.
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :
“Perkara
baru (bid’ah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang
atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini
dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang
tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bid’ah juga,
tetapi tidak tercela.”
3. Tentang
bid’ah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang
begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum
bid’ah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah,
haram).
Bisa
kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa
perkara baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi
menjadi lima hukum, yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub
(sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
c. Contoh-contohnya :
Bid’ah yang wajib :
- Membukukan mushaf Al-Qur’an.
- Membukukan
hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits,
karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qur’an).
- Kodifikasi,
perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri
sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu Fiqih,
ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu
balaghah, ilmu tasawuf.
- Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bid’ah yang haram :
- Bid’ah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
a. Khawarij
yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin
yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar
kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
b. Syiah
Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman
menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan
Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.
f. Mua’tillah yang menolak sifat-sifat Allah.
g. Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.
- Bid’ah dalam ibadah, seperti :
a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.
- Bid’ah yang Sunnah :
a. Shalat Tarawih berjama’ah.
b. Adzan pertama pada shalat Jum’at.
c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis ta’lim.
- Bid’ah yang Makruh :
a. Menghias masjid.
b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d. Sistem pemerintahan yang monarki.
e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.
- Bid’ah yang Mubah :
a. Makan menggunakan sendok.
b. Memakai pakaian yang bagus.
c. Membuat rumah yang besar.
d. Menggunakan peralatan modern.
e. Dzikir berjama’ah.
f. Bersalam-salaman setelah shalat berjama’ah.
Kelompok Kedua
Kelompok
ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya
adalah sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”
Kelompok
ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah
dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi
sebagai “sarana”. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana
menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi
wajib.
a. Tokoh
Di
antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah
At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan
Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari
kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu
Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah: 3)
Hadits Nabi :
“Bahwa semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat”.
“Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)
c. Contoh :
- Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
- Dzikir berjama’ah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
- Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
- Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Tahqiq :
1. Kedua
kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah,
yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk
bid’ah dhalalah.
2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :
a. Shalat Jum’ah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah dhalalah atau tidak.
b. Shalat Sunah berjama’ah itu bid’ah dhalalah atau tidak.
c. Dzikir berjama’h itu bid’ah dhalalah atau tidak.
d. Peringatan maulid Nabi itu bid’ah dhalalah atau tidak.
e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bid’ah atau tidak.
3. Hadits nabi “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).” Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bid’ah dhalalah.
Petunjuk
lafazh hadits diatas memang bersifat umum (‘am), lafazh ‘am masih
memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada
takhsisnya yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah
maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya
hingga hari qiyamat.
Jadi tidak “semua” perkara baru bid’ah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
b. Khalifah Usman menyatukan Al-Qur’an dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c. Khalifah
Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jum’at, maksudnya
adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jum’at sudah
dekat.
d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka
jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan
Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru
masuk Islam.
f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g. Khalifah
Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga
karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi
lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan
Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak
satu.
h. Khalifah
Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit
dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi
membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
j. Khalifah
Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang
melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an).
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5. Jadi
jangan gampang memvonis bid’ah dhalalah terhadap semua perkara baru,
tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada
tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6. Tentang
adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya
dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan
dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau
perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka
jangan terus mudah divonis sebagai bid’ah dhalalah.
XIV. Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam
masalah ushul, atau masalah furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak
boleh ada perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh
ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat
dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya,
itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang
pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah akidah,
yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.
Dalam
masalah furu’ yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada
variasi dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap
keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini
perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus
saling ber toleransi.
Perbedaan
pendapat dalam masalah furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah
terjadi sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para
generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak
terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak
saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah “menghukumi haram” terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qath’i yang tegas menunjukkan hukum haramnya.
Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :
Khalifah
Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada
kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”.
Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak
mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar
ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena
luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya
: “Apakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi
tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal
berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin
Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa
keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman
bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu
datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan
yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung
saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam
Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan
kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”.
Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas
memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di
kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang
kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik
bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat
hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qath’i yang tegas mengharamkannya.
Imam
Al Auza’i (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya
tentang orang yang mencium istrinya : “Kalau orang itu datang padaku
bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu
lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya”.
Imam
Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami
tidak melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannya”.
Suatu
hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya
bin Mu’in tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu
atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata
Yahya bin Mu’in : “Orang itu harus wudhlu lagi”. Dia menggunakan hadits
yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali
bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan
dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat
Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat
Ammar bin Yasir.
Menanggapi
kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah,
derajad Ammar dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat
salah satunya.”
Ibnu
Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab
Imam Ahmad bin Hanbal : “Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal,
shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah
cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah,
Malik, Syafi’’i hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena
para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap
bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah
hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu
kesepakatan (ijma’). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan
sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum
tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi
pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam
mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu
seseorang bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf
(pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid
berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena
mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam
tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum
dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam
Syafi’i dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah
dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam Syafi’i shalat setelah bercukur
rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran.
Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam Syafi’I
menjawab : “Saat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq
(mazhab Imam Abu Hanifah)”.
Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang
berpendapat menjaharkan (membaca nyaring) “Bismillahirrahmanirrahim”
dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak
pernah menjaharkan “Bismillahirrahmanirrahim”
Diriwayatkan
dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain
bin Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah
perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, “Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.
Lalu
Al Hushain meminta jalan keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang
memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak
jatuh talak perceraian) ?”. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Kamu tahu
pengajian para ulama Madinah ?” Al Hushain menjawab, “Ya” Saat itu
memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid
Agung Baghdad. “Apakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri
saya tetap halal ?” maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya !”.
Baihaqi
dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu
kami bersama Abdullah bin Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki
Masjid Mina, beliau bertanya : “Amirul Mukminin (Usman bin Affan)
shalat berapa raka’at ?” Mereka menjawab, “Empat raka’at”. Maka Ibnu
Mas’ud langsung shalat empat raka’at tanpa membantah.
Mereka
langsung mempertanyakan, “Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa
Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud
menjawab : “Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian.
Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan
berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini
adalah buruk”.
Diriwayatkan
pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid
Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak
yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak
mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku
menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.
Dari
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : “Penulis pernah mendengar
guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : “Dahulu Abu
Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat
tangannya sebelum dan sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan hadits Ibnu
Umar yang tercantum dalam Al Muwatta’; sejauh yang
penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan
paling benar dalam ilmu dan agamanya”.
Penulis
berkata : “Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami
bisa mengikuti anda ?” Beliau menjawab : “Saya tidak akan berbeda dengan
bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang
disekitar kita sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa mengangkat tangan)
berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kita”.
Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, “Apabila seorang makmum
berjama’ah dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat
witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya
berqunut sebelum ruku’ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak
membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau
imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan
para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan
pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baik”.
Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya
karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh
orang untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan membuat
bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu
yang lain untuk keluar”.
Terlihat
disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan
sendiri oleh beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang
banyak.
Dibagian
lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu,
para imam, Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau
seorang imam shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang
diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang
beriman”.
Ibnu
Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata :
“Tidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali
kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah
membiarkan bangunan Ka’bah begitu saja, seraya bersabda : “Kalau bukan
karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :
1. Persatuan adalah wajib.
“Aku
wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian
generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabi’it
tabi’in). Kalian harus tetap dalam jama’ah. Waspadalah terhadap
perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan
dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan
bau harum surga hendaknya selalu dalam jama’ah.” (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.
“Berpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah”. (QS Ali Imran : 103).
“…dan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamu”. (QS Al Anfal : 46).
3. Perbedaan
pendapat dalam masalah furu’ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti
terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi : “Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat”.
Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :
“Saya
tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat,
seandainya mereka tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada
ruksyah (keringanan) bagi kita”.
4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu’ yang ijtihadi.
5. Tidak
ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul
(akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qath’i (pasti) dan
sharih (jelas).
6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
“Jauhkanlah
diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum
kamu hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama”. (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)
9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.
10. Menahan diri dari “menyerang” kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bid’ah) atau mengkafirkan.
11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :
a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
b. Kemiskinan dan kebodohan umat.
c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
e. Degradasi moral dan spiritual.
f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b. Meneriakkan
selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah
ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.
e. Berperasangka baik kepada orang lain.
f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
15. Menjauhi perdebatan sengit.
XV. Fikih Kotemporer
DR.
Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal
Al-Qur’an), dikenal moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas,
beliau pernah mendapat gelar “The Man of The Year” dari
pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya “Kebangkitan Gerakan Islam Dari
Masa Transisi Menuju Kematangan” menuliskan pemikirannya yang sangat
menarik, penting dan perlu diketahui untuk menambah kematangan kita
dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama dalam masa
kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu :
1. Dari formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, ‘hafal’ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu
semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah
mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah,
tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2. Dari Simbol menuju substansi.
Memanjangkan
jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan
celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol
yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya
yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama,
amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam
pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.
3. Dari pembicaraan menuju amal
Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih penting.
4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi,
seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri,
melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka
berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui,
membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk
yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih
penting.
5. Dari sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan
aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek
sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah
sikap ilmiah.
6. Dari emosional menuju rasional
Memusuhi
kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah
sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan
7. Dari ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim berlebihan :
a. Tidak mengakui pendapat lain.
b. Memaksakan pendapat.
c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu’ yang ijtihadi).
d. Kasar, menyakiti.
e. Buruk sangka.
f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
g. Liberalis.
h. Literalis.
i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :
a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
c. Antara rasionalis dan literalis.
d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.
e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.
f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide – ide.
8. Dari menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak
mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bid’ah
dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di
jaman Nabi adalah bid’ah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan.
Padahal Allah berfirman :
“Dia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimu”. (QS Al Baqarah : 185).
“Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian”. (QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
“Agama yang disukai Allah adalah agama yang mudah”. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)
“Sesungguhnya
Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia
suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya”. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)
9. Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya
memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau
mempertimbangkan maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan
perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu
menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya
demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10. Dari taklid menuju ittiba’.
Sikap
taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
argumen-argumennya, sedangkan ittiba’ adalah mengetahui argumen-argumen
para imam dan memilih mana yang paling baik.
11. Dari fanatisme menuju toleransi.
Ciri sikap fanatik :
a. Menganggap dirinya paling benar.
b. Menganggap semua yang lain pasti salah.
c. Keras pada masalah furu’ yang ijtihadi
d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.
e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri sikap toleran :
a. Tidak merasa yang paling benar.
b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap keras pada masalah furu’ yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.
12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.
13. Dari keberingasan menuju kasih sayang.
14. Dari perpecahan menuju persatuan.
15. Dari perselisihan menuju solidaritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar